Kutulis ini di sela-sela istirahat jam kerja. Sedikit terburu-buru lantaran ingatan ini muncul seketika dan kutakutkan iya segera menghilang. Maka Aku pun berusaha mengingatnya. Kelas 3, Aku rasa.
Waktu itu aku kelas 3 SD dan baru mulai mengenal yang namanya pertemanan. Aku bukan anak yang bebas bermain kemana saja sewaktu kecil. Ibuku membatasi ruang gerak bermainku dikarenakan anak-anak di lingkungan tempat tinggalku lumayan nakal. Sehingga karena kedua orangtuaku sibuk bekerja setiap hari, aku menghabiskan banyak waktuku sepulang sekolah hanya dengan bermain di rumah saja. Teman-temanku hanya mereka yang ada di sekolah, dari mulai pagi hingga siang menjelang. Intensitas pertemuan kami sebatas itu, tidak lebih dikarenakan untuk alasan keamanan atau mungkin kesibukan orangtuaku, aku pun diantar jemput dengan bis. Sehingga sepulang sekolah aku tidak bisa berlama-lama bermain karena harus menumpang bis untuk sampai di rumah kembali.
Tidak ada yang berbeda karena setiap hari adalah sama bagiku sampai hari itu, teman ku Danil untuk alasan yang tidak dapat kuingat lagi entah kenapa mengajakku dan seorang lagi temanku Ridho untuk tidak langsung pulang kerumah ketika selesai bel terakhir, tetapi mampir terlebih dahulu di rumahnya. Aku tidak lantas mengiyakan, tidak pula seketika menolak. Aku bimbang, takut kena marah karena tidak langsung pulang ke rumah, tapi aku tidak ingin cepat pulang kerumah karena kupikir kapan lagi aku menemukan kesempatan untuk bermain di tempat temanku seperti saat ini. Maka, dengan memberanikan diri atas segala konsekuensi yang mungkin terjadi karena terlambatnya pulang sekolah, Aku pun akhirnya mengiyakan bahwa aku akan ikut main kerumah Danil, bersama Ridho juga. Ibu urusan belakang, pikirku waktu itu.....
Karena rumah Danil tidak jauh dari sekolah, kami pun tidak perlu bersusah payah untuk sampai ke rumahnya. Cukup berjalan kaki saja, kurang lebih 15 menit akan tiba di rumahnya. Maka begitu bel tanda pelajaran usai berbunyi, Kami pun berhamburan keluar menuju ke rumah Danil, temanku. Aku berlari paling kencang di depan, lengkap dengan pekikan kegembiraanku. Kembali, Ibu urusan belakang...
Sesampai dirumah Danil, Kami pun langsung mengacak-acak isi kamar Danil. Waktu itu musim mobil-mobilan Tamiya, Danil dan Ridho sudah memiliki Tamiya masing-masing. Sementara aku masih mengagumi mobil bertenaga dua baterai, berpenggerak dinamo itu tanpa sadar bahwa aku belum punya dan baru tahu hari itu. Maka aku pun menjadi penonton sekaligus pendengar setia obrolan mereka seputar mobil Tamiya hingga bagaimana membuat mobil-mobilan tersebut menjadi jauh lebih kencang, lengkap dengan tips dan trik balap di trek ala Danil dan Ridho. Semua obrolan mereka, semua gerak gerik mereka, semua momen itu, aku simpan dalam hati. Dan ketika aku pulang nanti, aku tahu aku mau minta dibelikan apa sama Ibu ketika itu.
Ibu Danil adalah seorang perempuan baik hati dan penyayang. Segera saja Aku langsung merasa akrab dan tidak canggung meskipun baru pertama kali main ke rumah Danil. Selesai membahas Tamiya, Ibunya Danil pun menyuruh kami makan siang. Itu adalah kali pertama ku makan siang di rumah teman. Aku masih ingat dengan apa yang kumakan. Ikan goreng, sambal dan sayur bening bayam dengan jagung. Ah enak sekali, lengkap dengan pencuci mulutnya sepotong besar semangka untuk tiap dari kami. Aku kenyang sekaligus senang.
Selesai makan. Danil pun mengajak untuk duduk di teras, menikmati semilir angin dari pekarangan depan rumahnya yang teduh karena banyak pepohonan berdaun rindang. Ada sebuah pohon jambu bol besar di depan teras rumah Danil, dan rindang daunnya menutupi sebagian besar sisi depan rumah Danil menciptakan area teduh yang luas yang tak tersentuh cahaya matahari yang membuat kami begitu nyaman untuk bermain disana.
Aku dan Ridho masih duduk di teras, ketika Danil dengan tiba-tiba bangkit dan masuk ke dalam rumah, setengah berlari ke arah sebuah meja di ruang tamunya di mana terdapat radio tape di atasnya. Ada sejumlah kaset tergeletak di atas meja tersebut, Danil mengambil salah satunya, mengeluarkan isinya memasukkan nya ke dalam tempat pemutar kaset pada radio tape nya, kemudian berlari kembali bergabung bersama kami membawa sebuah kertas panjang berwarna hijau dari dalam kotak kaset yang ia masukkan isinya.
"Suasana kayak gini, pas nih dengari lagu ini......."kata Danil.
"Lagu apa ini we...." jawabku.
"Sheila On 7 nih Ry...." Kata Ridho memberi tahu.
"Oh.....enak ya..."
Siang itu dirumah Danil, Aku berkenalan dengan Band yang menjadi idolaku hingga saat ini, Sheila On 7.
Kertas hijau yang dipegang Danil adalah cover kaset dari album pertama Sheila On 7 yang berisi lirik-lirik dari semua lagu di album tersebut. Masih dapat kuingat jelas siang itu kami bersama-sama menyimak bait demi bait lagu Sheila On 7. Hingga kuputuskan di waktu-waktu berikutnya bahwa aku jatuh cinta pada dua nomor manis di album itu, Anugerah Terindah Yang Pernah Kumiliki dan Kita. Indah, hari itu benar-benar sempurna.
Ah, Ridho dan Danil terima kasih untuk ini semua, kalian adalah kenangan masa kecilku yang tak akan kubiarkan pergi. Biarkan atas nama kerinduan kukirimkan lirik terbaik dari masa kecil kita.
....
Melihat tawamuMendengar senandungmuTerlihat jelas dimatakuWarna - warna indahmu
Menatap langkahmuMeratapi kisah hidupmuTerlihat jelas bahwa hatimuAnugerah terindah yang pernah kumiliki
Sifatmu nan s'laluRedakan ambisikuTepikan khilafkuDari bunga yang layu
Saat kau disisikuKembali dunia ceriaTegaskan bahwa kamuAnugerah terindah yang pernah kumiliki
Belai lembut jarimu,Sejuk tatap wajahmuHangat peluk janjimu....