Foto oleh : Junida Rufinna Meliala |
Kalau rindu bisa berwujud, dia
pastilah menjelma dalam bentuk yang berbeda-beda pada setiap orang. Satu waktu
dia akan menjadi sosok yang kejam dan bengis menyiksa orang yang ingin segera
bertemu dengan yang disayang tapi tak bisa karena kendala jarak. Di waktu lain
dia akan menjadi sosok yang cengeng dan sensitif, gampang menangis bersama
dengan mereka yang kerap mengingat masa lalu, entah itu senang atau sedih. Tapi
bagi Saya, rindu sepertinya akan menjelma menjadi Milo. Iya, Milo. Cokelat
bubuk dari Nestle favorit kita semua. Karena apa ? Karena rindu memberikan Saya
energi untuk menang tiap hari. Halah.
Gagal puitis.
Rindu bagi Saya serupa Milo, yang
memberikan kekuatan untuk memotivasi diri agar terus kuat menghadapi hari-hari
tanpa anak dan istri setiap hari pada weekdays, dan menyemangati diri Saya
untuk selalu mempersiapkan waktu, mengerjakan tugas-tugas kantor
sebaik-baiknya, karena weekend adalah momen dimana Saya bisa bertemu mereka
merayakan waktu bersama dan mencegah distraksi lainnya. Layaknya Milo,
memberikan energi untuk saya bisa menang menjalani hari-hari. Walaupun pada
praktiknya Saya jarang minum Milo sekarang, karena anak Saya juga suka Milo
jadi stok Milo lebih banyak dihabiskan olehnya. Milo benar-benar berjasa untuk
keluarga kecil kami.
Narasi yang aneh, iya Saya
tahu. Tolong jangan benci.
Menjadi anak kemaren sore dalam
menjalani Long Distance Marriage tentunya membuat Saya minim pengalaman
dan meraba-raba. Oleh karena itu apabila tulisan ini dibaca oleh kalian yang
mungkin durasi Long Distance Marriage nya sudah diatas Saya, yang baru
semingguan lebih dikit ini, Saya pun ingin merapak sembah setinggi-tinggi
tahniah, mohon bimbingan anak baru ini, jangan di-bully. Jadi kira-kira
begini, Karena SK mutasi, tempat kerja istri berpindah yang sebelumnya satu
kota dengan Saya, menjadi beda kota. Saya masih disini, dan dia di Kabanjahe.
Iya, Kabanjahe. Dingin.
Setelah, dua minggu sebelumnya
berhasil mendapatkan tempat tinggal di Kabanjahe melalui survei langsung ke
lokasi sekitar calon kantor Istri, minggu lalu Kami pun sukses beramai-ramai
mengantarkan mereka. Istri, anak, dan kakaknya Mamak yang nanti bakalan momong
anak Saya ketika Umma-nya bekerja di Kabanjahe. Resmi pulalah Saya mendapat
status ini, memulai menjalani hidup LDMMVMM – Long Distance Miss You Very Much
Marriage dan memulai akhir pekan pertama Saya dengan menempuh perjalanan dengan
angkutan umum menuju destinasi mingguan menuntaskan rindu ini.
Tjieeeeeeee…..
Perjalanan sore itu dimulai
dengan menunggu di pinggir jalan raya, simpang menuju rumah dengan diantar oleh
adik laki-laki Saya. Berharap mendapat bis atau angkutan umum kecil untuk dapat
menuju Medan dari Kota tempat tinggal Saya, Tebing Tinggi. Mana yang duluan lewat,
itu yang akan saya naiki. Saya sengaja memilih ke Kabanjahe melalui Kota Medan
tidak lewat Pematang Siantar, dikarenakan dua perjalanan sebelumnya ke Kabanjahe
sewaktu mengantar istri kesana, via Pematang Siantar-Simalungun-Karo, sejumlah
ruas jalan di kawasan Simalungun rusak parah dan berlubang besar-besar. Sangat
membahayakan dan tentunya tidak akan menimbulkan rasa nyaman selama perjalanan.
Selain itu angkutan penumpang yang melewati rute sana sepertinya masih kalah
bagus dibanding yang dari Medan. Karena Saya juga baru pulang kerja dan
tentunya sebagian besar waktu di jalan nanti akan Saya habiskan dengan
tertidur. Kemulusan jalan dan kenyamanan angkutan umum menjadi pertimbangan
utama Saya di dalam perjalanan ini.
Eh…..Kok ? Gaya penulisannya
berubah ni, kek Travel Blogger….
Dari Tebing Tinggi tidak ada
angkutan umum langsung ke Kabanjahe, mau via Pematang Siantar ataupun Medan.
Artinya Saya akan dua kali ganti bis, dari Tebing Tinggi ke Medan, dari Medan
Ke Kabanjahe. Sebuah bis berkelir kuning berhenti, tertulis BAYU Trans, karena
tak ingin menunggu lebih lama Saya naik dan penumpang didalamnya hanya tiga
orang termasuk Saya. Bis kembali melaju, meninggalkan Kota Tebing Tinggi dan
segera Saya memberi kabar kepada yang menanti bahwa saya telah OTW. Sesaat mendekati persimpangan menuju Pintu
Gerbang Tol Tebing Tinggi-Medan, tiba-tiba Supir Bus memecah keheningan dengan
berkata,
”Jalan biasa macet ini pasti,
apalagi daerah Jembatan Sei Bamban itu, kita lewat tol aja yah, dariku dua
puluh ribu, kelen sepuluh ribu satu orang lah ya, bisa ?”
Saya yang masih terjaga dengan
baik langsung membalas, “Oke, Bang. Yang lain cemana ?”
Mata ini langsung menuju pada dua
orang penumpang lainnya, tidak bersuara tapi mereka hanya mengangguk, memberi
tanda setuju.
“Sip, gaskan Bang!” Saya
bersemangat.
Mobil meraung kencang memasuki
Gerbang Tol. Segera setelahnya Saya tertidur.
Oh nikmatnya…
Satu jam ternyata tidak terasa di
alam bawah sadar, bangun-bangun sudah di Pintu Keluar Tol Amplas. Duduk di
panggir parit, terkulai lemas, pasrah, dehidrasi, isi dompet raib. Mau teriak
minta tolong tapi suara habis.
LHO KOK JADI BEGINI
CERITANYAAAAA !!!!! INI CERITA SIAPA SIKKKKK !!! WOYYYY !!!
Maksudnya itu ya sudah di Pintu
Keluar Tol Amplas, tapi masih di dalam bis, masih dalam suasana ngumpulin
nyawa, sambil mikir habis ini mau naik Almasar sebaiknya nunggu dimana yah,
begitu kira-kira benernya.
Sejak awal Saya memang
merencanakan untuk memilih Almasar sebagai mini bus langganan Saya nantinya
untuk ke Kabanjahe. Almasar dengan rute Bandara Kualanamu – Medan – Kabanjahe.
Alasannya tak lain dan tak bukan karena shuttle bus dari bandara ini busnya
bagus, bersih dan ada AC-nya. Cocoklah dengan standar kenyamanan Saya
(baca:bisa tidur nyenyak sampai tujuan). Maka detik ini pun Saya mau self-proclaimed sebagai, Pecinta
Almasar Akhir Pekan.
Suatu hari, tolong beri Saya
tiket gratis. Plis….
Saya akhirnya memutuskan untuk
diturunkan di Simpang Marendal saat itu waktu menunjukkan pukul 18.05 WIB,
berharap bisa mencegat Almasar disini, karena Almasar yang menuju Kabanjahe
dari Bandara Kualanamu pasti melewati Simpang Marendal ini menuju Simpang Pos
dan berbelok kiri ke Jl. Jamin Ginting terus hingga sampai ke Kabanjahe.
Sedikit berjalan kaki tepat di
depan Swalayan Maju Bersama Saya pun berdiri menunggu Almasar lewat. Lima belas menit Saya menunggu, sebuah
minibus merah khas dengan cutting stiker Mr. No Comment dibawahnya tertulis
rute, KUALANAMU – MEDAN – KABANJAHE muncul di antara padatnya jalanan oleh
kendaraan. Ini dia kereta kencana Saya, Almasar. Saat itu posisi bis memang
agak di tengah dan kebetulan saat itu
sedang jamnya ramai lalu lintas. Saya
pun bersiap untuk menyetop agar bis berhenti.
Namun ternyata untung tak dapat
diraih, malang jauh dari sini. Teman Saya ada yang bernama untung, tapi dia
juga tidak membantu saat ini. Sesaat sebelum melintas di depan Saya, bus tidak
mengurangi kecepatan dan memberikan lampu tangan berhenti. Bus melenggang
pergi. Saya cuma bisa bengong dengan tampang bodoh. Tidak percaya dengan pemandangan
yang baru saja Saya saksikan. Padahal, Saya bisa melihat dengan jelas dan
melalui mata kepala Saya sendiri, bukan orang lain kalau bis ini kosong. TIdak penuh.
Sekali lagi tidak penuh. Apa yang terjadi, pemirsaaaaaaah !!! Beragam
pertanyaan langsung hadir,
“Kenapa bis ini tidak berhenti
??”
“Apakah bis ini tidak ingin
mengangkut penumpang ?”
“Kalau bukan penumpang apa yang
biasa bis ini angkut?”
“Wajarkah sebuah bis menolak
mengangkut penumpang?”
“Apakah supir bis menganggap Saya
tidak punya duit”
“Apakah Saya ditolak menjadi Pecinta
Almasar Akhir Pekan ?
Padahal itu kan masih dalam
pikiran Saya. Berbagai spekulasi datang dan pergi di benak ini. Karena tidak
tahan dengan ini semua, Saya pun pesan Gojek.
Bersambung....
Be First to Post Comment !
Post a Comment