Disinilah
Saya merebahkan badan, meluruskan kaki sambil menikmati sedikit pegal-pegal di
sekujur kaki. Skema seperti ini berulang dua kali seminggu sampai rasanya Ibu
Saya sudah maklum saja apabila selepas makan malam Saya tidak bergabung bersama
di ruang keluarga untuk menonton tipi dan lebih memilih berdiam diri di kamar,
tengkurap atau telentang. Tapi, kali ini dengan ingatan betapa nikmatnya Gulai
Masam Kepala Nila yang dihidangkan dengan gratis oleh seorang Kawan.
Lalu
apa yang Saya lakukan pada sore harinya sehingga kok kelihatannya Saya begitu
menderita malam harinya ? padahal jam kerja hanya pukul 07.30 sampai 15.30.
Tidak, Saya tidak sedang membicarakan menambah pendapatan ekstra seperti yang
banyak Kawan-Kawan Seangkatan Saya ribot-ribotkan di Facebook. Membuat usaha sampingan ini itu kemudian
mempromosikannya di Facebook untuk menambah penghasilan diluar gaji sebagai
PNS, belum terpikirkan Saya. Untuk saat ini, Saya masih mengutamakan untuk pencarian
jodoh menjaga kesehatan.
Uang
bisa dicari, tapi kesehatan ? Ya bisa juga sih. Dengan dasar pemikiran itu,
maka Saya pun bermain bola. Bermain bola menjadi pilihan Saya dalam hal
refreshing dan mencari keringat. Tenang, tidak ada maksud dalam hati Saya untuk
berusaha memesona cewek-cewek dengan permainan bola Saya karena : 1. Skill
bermain bola Saya hanya pas-pasan, 2. Enggak ada cewek-cewek yang mau
merepotkan diri meluangkan waktu untuk menonton di lapangan, dan 3. Lapangan
bolanya jauh dari peradaban. Sial.
Maka
di sanalah Kami, di tempat dengan nama Stadion Ramlan Yatim. Setiap Selasa dan
Kamis sepulang kerja menanggalkan segala macam atribut yang melekat,
menghilangkan batasan antara Bapak dan Anak, tua dan muda, besar dan kecil,
berganti kostum bola untuk kemudian bermain bersama. Menjadikan Kami satu. Bermain bola.
PS.
PEMKO TT nama Tim Bola Saya. Kepanjangan dari Persatuan Sepakbola Pemerintah
Kota Tebing Tinggi. Beberapa pentolannya merupakan PNS yang bekerja di Pemko
Tebing Tinggi, lainnya adalah orang-orang yang berasal dari profesi berbeda
sampai anak sekolahan pun ada. Jadi yah, penyebutan PEMKO TT disini bukan
secara official Tim ini dikelola
dengan profesional oleh Pemerintah Kota Tebing Tinggi, bukan. Ini hanya Tim bola biasa yang isinya orang-orang
yang sepemikiran untuk “mencari keringat sepulang kerja” yang kebetulan
meminjam nama Pemko Tebing Tinggi dan bangga memakainya. Dan, masih patungan
untuk biaya pemotongan rumput lapangan serta minum para pemain selesai bermain.
Hehehehe.
Gak full team tapi bisalah mewakili |
Dari
bermain bola jugalah Saya berkenalan dengan banyak orang dari profesi yang
beragam. Yang semuanya benar-benar memberikan pandangan baru bagi Saya di luar
pekerjaan Saya sebagai PNS. Maka, pembicaraan sehabis bermain bola pun selalu
menjadi bagian favorit Saya walaupun dengan ganjaran tiba di rumah sehabis
adzan maghib berkumandang, repetan
ibu termasuk di dalamnya. Mulai dari saling kritik ketika bermain, pembahasan
seputar dunia sepakbola, isu-isu aktual yang sedang hangat di televisi hingga
siapa yang kedapatan sedang membonceng cewek baru, tak luput dicakapkan. Semua berbicara begitu lepas
seolah bermain bola adalah solusi dari penatnya rutinitas sehari – hari.
Bermain bola adalah koentji.
Sampai
pada suatu sore selesai bermain, seorang Kawan dengan selisih umur lebih tua
dari Saya, Bang Anas mengatakan, “Aku ada buka Rumah Makan di pinggir jalan mau
ke Medan. Di Tanjung Morawa, lewat simpang mau masuk Pintu Tol Tanjung Morawa
itulah. Rumah Makan Sawah namanya. Makanya aku kadang gak bisa main terus
karena harus bolak-balik ke sana.” memberi penjelasan panjang lebar kepada Saya
kenapa hanya bisa bermain satu kali dalam seminggu.
“Loh
iya yah Bang ? Sebelah kanan yah ? Sesudah turunan atau sebelum” kata Saya
menanggapi, sedikit memahami daerah yang dimaksud.
“Iya
sesudah, sering yah arah ke Medan ?” sambung Bang Anas.
“Kami
sih tiap tiap wiken ke Medan, Bang. Kan kuliah.....” Saya menerangkan sambil
menunjuk ke seorang Kawan, Isdi”
“Oh...
Iyanya ? Yaudah sekali-sekali singgahlah...... Makan siang disana”
“Iya
Bang, kata Saya mengakhiri.
Pembicaraan
itu sudah lama terjadi, setahun yang lalu, rupanya Bang Anas tidak pernah lupa.
Hampir setiap minggu Bang Anas menghubungi Isdi agar mampir untuk makan siang
di Rumah Makannya. Sesering Bang Anas menghubungi Kami, sesering itu pulalah
Kami mencari-cari alasan halus untuk menolaknya. Bukan kenapa-kenapa, tapi dari
kesimpulan Isdi, Bang Anas mau mentraktir makan siang di Rumah Makannya dan
Kami merasa tidak enakan. For your info, tidak enakan adalah default setting orang Indonesia. Cemanalagi lah yekan.
Bang
Anas tidak pernah menyerah, Kami pun yang akhirnya mengalah. Atas dasar tidak
enakan dihubungi terus-terusan jugalah Minggu lalu, Kami bertekad untuk singgah
makan siang di Rumah Makan kepunyaannya. Tidak enakan rule the world memang. Sampai di tempat, ternyata Kami disambut
begitu hangat olehnya, padahal itu lagi rame pengunjung. Kami sampai kikuk
harus berbuat apa tapi untunglah Bang Anas segera mengarahkan untuk menuju meja
yang agak menjorok ke dalam, biar lebih santai katanya. Ah, Abang tau aja ya....
Dan
yang dihidangkannya sebagai menu makan siang adalah Gulai Masam Kepala Nila
kepada Kami berdua, tidak tanggung-tanggung. Lengkap dengan lalapan, sambal kecap dan jus
jeruk. Saya berani bertaruh itu adalah Gulai Masam terenak yang pernah Saya
makan. Dan Saya juga berani bertaruh bahwa uang di dalam dompet Saya pun tidak
cukup untuk membayar total biaya makan siang di situ seandainya selesai Kami makan
lantas Bang Anas berujar, “Kasirnya di sebelah kanan yah di depan itu”.
Sambil
menyuap nasi, Bang Anas bercerita banyak tentang pengalaman hidupnya dari mulai
bekerja sebagai Pegawai pada perkebunan swasta, resign, mengurus rumah makan milik orangtua, dan akhirnya membuka
Rumah Makan sendiri. Rupanya, mengurusi usaha Rumah Makan adalah passion Bang Anas, terhitung ada dua
ruko miliknya yang disewakannya kepada orang dengan jenis usaha rumah makan
juga. Bang Anas memang senang bercerita sampai waktu empat puluh menit pun
tidak terasa telah terlewati waktu itu. Kami pun berpamitan, sambil tak henti
mengucap terimakasih kepadanya. Itulah Bang Anas, orang yang Saya kenal hanya
lewat bermain bola mau berbaik hati untuk menjamu makan siang di Rumah
Makannya.
Rasa
Gulai Masam Kepala Nila itu memang sudah lama hilang dari lidah Saya, tapi
tidak dengan kebaikan hati Bang Anas. Bang Anas memang tidak pernah mengucap
sebagai keluarga kepada Saya, tetapi Saya merasa diperlakukan sebagai anggota
keluarga. Mengundang makan tentu tidak akan pernah Kita lakukan terhadap orang
asing, bukan ? Peristiwa kecil seperti itu lambat laun mengubah cara pandang. Yang
mulanya hanya sebagai Kawan – Kawan bermain bola lambat laun menjadi
“keluarga”. Anggapan bermain bola di sore hari bersama Kawan-Kawan yang tadinya
sekedar “mencari keringat” pelan-pelan berubah menjadi bagian dari kehidupan
yang tidak bisa ditinggalkan. Mulai ada rasa tidak enak apabila berhalangan
hadir untuk bermain. Tidak enak kepada “keluarga” apabila tidak bermain. Disadari
atau tidak, atas nama kesehatan Saya sudah sampai sejauh itu.
Manusia
adalah makhluk sosial. Makhluk yang selalu membutuhkan orang lain. Dan bermain
bola hanyalah salah satu medianya. Saya bukan Captain Tsubasa yang saking candunya
dengan bermain bola terus mengasah diri lewat bermain bola, menjadikan bola
sebagai sahabat. Bagi Saya bermain bola adalah hadiah kepada diri Saya. Setelah
seharian bekerja, otak Saya butuh refreshing dan tubuh Saya butuh sehat. Bermain
bola bagi Saya adalah media. Media untuk refreshing, untuk sehat, bertemu orang
lain dan berinteraksi satu sama lain. Lantas, bertemu orang-orang baru,
bercerita, belajar dan berbagi banyak hal.
Saya
tidak pernah bermimpi untuk menjadi terkenal lewat bermain bola, untuk bisa
makan gratis pun tidak. Tapi Tuhan memang ahli dalam mengejutkan, lewat bermain
bola Saya dapat traktiran makan siang dengan Gulai Masam Kepala Nila. Bermimpi
pun tidak !
Be First to Post Comment !
Post a Comment