sumber : Google |
Beberapa hari
yang lalu sebelum pergantian tahun, Saya mengetahui Teman lama Saya sedang
pulang kampung, kembali ke kota ini. Bukan teman akrab, tapi Saya tahu dalam
satu dua hal ketertarikan Kami sama, atau begitulah setidaknya yang dapat Saya
temukan. Setelah lama merantau dan sukses di kota orang, pada akhirnya Saya
berkesempatan untuk duduk satu meja dengannya. Ia adalah orang dari masa kecil
Saya, masa – masa bersekolah dulu. Lama tidak berjumpa membuat Saya ingin
berbagi banyak hal dengannya, ingin berdiskusi dengannya tentang hal – hal yang
sempat menjadi ketertarikan Saya pada masa lalu. Lebih jauh lagi, Saya ingin
belajar. Saya ingin belajar, mencoba menggali apa yang telah Ia dapatkan lebih banyak dari sana,
mencoba mencuri ilmu sedikit-sedikit.
Bene, namanya.
Lengkapnya Bene Dion. Lebih lengkapnya lagi Bene Dionysius Rajagukguk. (kotengok itu njeng, masik hapal Aku kan
! followers mu aja belum tentu !) Bene adalah seorang teman, satu dari sejumlah
lingkaran pertemanan lama yang untungnya masih bertahan. Dan seperti juga
remaja-remaja saat ini yang besar dengan tulisan – tulisan dari Imam Besar
Raditya Dika, yang buku – bukunya menjadi mazhab bagi anak - anak gaul se - antero
negeri ini, sehingga apapun yang Dia kicaukan, lakukan dan katakan, menjadi
tren di Indonesia, Kami pun demikian adanya, mengidolai Raditya Dika dan
menjadikannya sebagai role model.
Tak ayal, remaja – remaja seperti Saya pun-pada
masa itu, berlomba – lomba membuat blog pribadi (untuk dedek-dedek gemes yang
belum tahu Kak Radith itu terkenal lewat blog yah, bukan Twitter), ikut menuliskan
cerita hidup, mencurahkan serangkaian kisah sedih, haru biru, riang gembira,
gundah gulana, linglung, bingung, hantu
blau apapun namanya dan dikemas dengan tambahan unsur komedi, lewat media
online tersebut. Indikatornya jelas, makin banyak yang mampir di blog Saya,
makin banyak yang baca cerita Saya yang berarti Saya harus menulis sebaik
mungkin. Mimpi menjadi terkenal dan populer suatu hari, pelan – pelan terbentuk
di dalam otak Saya, mengendap, berwujud dan berkumpul menjadi secercah harapan.
Seperti kebanyakan minum tuak, Saya mabuk.
Raditya Dika
memang tuak bagus.
Maka, selain
disibukkan dengan PR Saya pun punya kesibukan lain yakni menulis untuk blog
pribadi lantas kemudian di publish di laman Blog yang biasa disebut nge-blog. Karena
pada masanya, akses internet tidak semudah seperti sekarang ini, maka Saya pun
harus rela bersama dengan Kawan-Kawan se-visi pada saat itu, mengurangi porsi
jajan di kantin, menyisihkan sisanya, pergi ke warnet yang isinya sebagian
besar orang – orang bermain game online, nge-blog, dan akhirnya kenak libas
mamak karena pulang telat ke rumah.
Raditya Dika
memang kimbek.
*****
“Udah, kau
nge-blog aja lagi.”
Bene memang pukilek.
Bisa-bisanya menanggapi
cakap Saya sesingkat itu, padahal Saya sudah bela-belain bicara sampai air
ludah kering. Ingin rasanya mengunfollow Twitternya tapi tidak jadi karena
sekali saja mention Saya dibalas olehnya, pasti linimasa Saya langsung ramai, cun kali ah. Tapi rupanya tidak, Saya
berbohong kok. Saya memang cerita banyak
tentang pekerjaan, kehidupan, pemikiran dan harapan-harapan Saya di masa
depan pada malam itu ketika bertemu di cafe paling hits di sini, tapi enggak
soal asmara. Sebuah cerita yang seharusnya berdurasi lama namun Saya resume
menjadi 30 menit saja yang ternyata memang betul menjadi kontributor utama
dalam habisnya air ludah.
Bene tidak meper-meper.
Mantap, Singkat
dan jelas, Saya tahu betul ke arah mana Saya dituntun. Dan, Saya untung betul
tidak harus mentraktir Bene. Saya pun menyadari pada akhirnya, ternyata
kepenatan – kepenatan yang Saya rasakan seperti ini selama ini tidak menemui
titik terang karena Saya menyimpannya dalam diam, tidak bertindak. Saya buka
kembali laman blog Saya, tercatat Agustus 2013 Saya terakhir kali menulis.
Saya sudah
bekerja sejak setahun terakhir yang artinya sejak mulai bekerja Saya tidak
pernah memposting apapun di laman blog Saya. Sebegitu membosankan kah kehidupan
Saya, ketika Saya telah bekerja ? Tidak juga. Lewat Bene Saya belajar
pentingnya memberikan ruang untuk diri sendiri, membebaskan diri untuk menjadi
apapun. Satu hal yang Saya sadari dan ini nyata, Saya harus kembali menulis. Bercerita
apa saja yang menarik hati Saya. Minimal untuk diri sendiri.
Ini adalah tahun
yang baru, tahun yang seperti semua orang harapkan akan menjadi tahun dimana
semua resolusi – resolusi yang telah susah payah mereka buat akan dapat
terwujud. Walaupun tidak akan semuanya dapat tercapai, seenggaknya akan ada
tahun baru berikutnya untuk mewujudkan sisanya. Saya sendiri agak berbeda dari
biasanya, kali ini tidak mematok suatu pencapaian apapun di tahun ini, hanya
berusaha berbuat yang terbaik setiap hari. Sesederhana menjadi orang pertama di
parkiran kantor setiap hari, itu saja.
Tujuh tahun telah
berlalu sejak membuat blog pertama Saya, menulis berbagai macam hal yang
menarik perhatian Saya dan tahun ini, resmilah blog ini memasuki tahun
kedelapan, menjadi saksi perjalanan hidup dan postingan ini adalah postingan
pertama Saya di tahun 2015, masih mendapat kendala yang sama dalam konsistensi
menulis sampai saat ini. Semoga berusaha berbuat terbaik setiap hari, termasuk juga dalam rutin mengupdate postingan terbaru Saya disini.
Semoga.
Be First to Post Comment !
Post a Comment