Top Social

superarmz - Cerita Kota dan Perjalanan

bercerita tentang kota dan catatan perjalanan

Featured Posts Slider

Image Slider

Saturday, January 31, 2015

Kepada Perusak Jam Tidur Malam



WOY !

Sebuah hardikan seperti itu memang tepat dilayangkan kepada Kamu, dengan tanda seru lebih banyak pasti lebih bagus. Bagaimana tidak, Aku sudah berusaha setengah mati mengatur jam tidur malamku agar tepat waktu, pukul 22.00 WIB.  Sudah kurencanakan dari hari Senin bahwa akhir pekan kali ini Aku mau bangun pagi, Aku mau lari pagi, mau cari keringat. Beberapa pekan belakangan Aku tidak ada waktu untuk olahraga dan pola makanku berantakan. Tapi apa jadinya ? Hah ? !


Kamu itu yah, bisa-bisanya kayak gak ada waktu lain saja. Memulai chat tepat beberapa saat sebelum Aku terlelap. Menyesal juga Aku tidak mematikan handphone jadinya. Memaksaku menahan kantuk, kembali memutar otak menanggapi chat Kamu, padahal Aku ini sudah seharian beraktifitas, bukan mudah itu yah. Tidak sopan sekali, tanya dululah seharusnya Aku sedang available apa enggak, ya walaupun aku pasti bilang iya, tapi kan setidaknya Aku pasti bilang Aku sudah mau tidur, jadi pasti sedikitnya Kamu akan mengerti. Ini jam tidur malamku lho yang Aku korbanin. Mentang –mentang Kamu itu terlalu manis untuk tidak ditanggapi, jadi bisa sesuka hati gitu ? Hah ? !


LIAT INI !


Aku jadinya bangun siang, linglung, enggak ada makanan di bawah tudung saji, suasana rumah sepi. Matahari sudah tinggi dan yah terlewat lari pagi, sarapan, bahkan Bapak sama Ibu yang enggak sempat jumpa karena sudah pergi ke rumah Saudara hari ini. Padahal, sudah kuniatkan dalam hati setelah selesai lari mau makan bubur kacang hijau di depan tanah lapang itu. Yang adanya cuma pagi – pagi itu, yang kalau agak siangan sedikit pasti sudah habis soalnya yang beli rame. Tapi gak jadi semuanya,  satupun ! Hih !


Asal kamu tau saja, tidur pukul 22.00 WIB di akhir pekan itu sebuah kemewahan bagiku. Kemewahan yang sangat jarang bisa didapat, harganya mahal. Tapi gara-gara sebuah chat dari Kamu, gagal semuanya. Aku jadi tidur larut, paginya kesiangan. Aku jadi mikir, kenapa harus Kamu sih yang chat kenapa enggak yang lain saja, biar bisa Aku abaikan. Dasar Kamu yah, tanggung jawab dululah sini atas gagalnya rencana lariku karena gak bangun pagi, kelewatan ! Hih !.  
Thursday, January 22, 2015

Captain Tsubasa Salah, Bola Adalah Keluarga Dan Gulai Masam Kepala Nila Hidangannya

Disinilah Saya merebahkan badan, meluruskan kaki sambil menikmati sedikit pegal-pegal di sekujur kaki. Skema seperti ini berulang dua kali seminggu sampai rasanya Ibu Saya sudah maklum saja apabila selepas makan malam Saya tidak bergabung bersama di ruang keluarga untuk menonton tipi dan lebih memilih berdiam diri di kamar, tengkurap atau telentang. Tapi, kali ini dengan ingatan betapa nikmatnya Gulai Masam Kepala Nila yang dihidangkan dengan gratis oleh seorang Kawan.


Lalu apa yang Saya lakukan pada sore harinya sehingga kok kelihatannya Saya begitu menderita malam harinya ? padahal jam kerja hanya pukul 07.30 sampai 15.30. Tidak, Saya tidak sedang membicarakan menambah pendapatan ekstra seperti yang banyak Kawan-Kawan Seangkatan Saya  ribot-ribotkan di Facebook. Membuat usaha sampingan ini itu kemudian mempromosikannya di Facebook untuk menambah penghasilan diluar gaji sebagai PNS, belum terpikirkan Saya. Untuk saat ini, Saya masih mengutamakan untuk pencarian jodoh menjaga kesehatan.


Uang bisa dicari, tapi kesehatan ? Ya bisa juga sih. Dengan dasar pemikiran itu, maka Saya pun bermain bola. Bermain bola menjadi pilihan Saya dalam hal refreshing dan mencari keringat. Tenang, tidak ada maksud dalam hati Saya untuk berusaha memesona cewek-cewek dengan permainan bola Saya karena : 1. Skill bermain bola Saya hanya pas-pasan, 2. Enggak ada cewek-cewek yang mau merepotkan diri meluangkan waktu untuk menonton di lapangan, dan 3. Lapangan bolanya jauh dari peradaban. Sial.


Maka di sanalah Kami, di tempat dengan nama Stadion Ramlan Yatim. Setiap Selasa dan Kamis sepulang kerja menanggalkan segala macam atribut yang melekat, menghilangkan batasan antara Bapak dan Anak, tua dan muda, besar dan kecil, berganti kostum bola untuk kemudian bermain bersama.  Menjadikan Kami satu. Bermain bola.


PS. PEMKO TT nama Tim Bola Saya. Kepanjangan dari Persatuan Sepakbola Pemerintah Kota Tebing Tinggi. Beberapa pentolannya merupakan PNS yang bekerja di Pemko Tebing Tinggi, lainnya adalah orang-orang yang berasal dari profesi berbeda sampai anak sekolahan pun ada. Jadi yah, penyebutan PEMKO TT disini bukan secara official Tim ini dikelola dengan profesional oleh Pemerintah Kota Tebing Tinggi, bukan.  Ini hanya Tim bola biasa yang isinya orang-orang yang sepemikiran untuk “mencari keringat sepulang kerja” yang kebetulan meminjam nama Pemko Tebing Tinggi dan bangga memakainya. Dan, masih patungan untuk biaya pemotongan rumput lapangan serta minum para pemain selesai bermain. Hehehehe.


Gak full team tapi bisalah mewakili
Dari bermain bola jugalah Saya berkenalan dengan banyak orang dari profesi yang beragam. Yang semuanya benar-benar memberikan pandangan baru bagi Saya di luar pekerjaan Saya sebagai PNS. Maka, pembicaraan sehabis bermain bola pun selalu menjadi bagian favorit Saya walaupun dengan ganjaran tiba di rumah sehabis adzan maghib berkumandang, repetan ibu termasuk di dalamnya. Mulai dari saling kritik ketika bermain, pembahasan seputar dunia sepakbola, isu-isu aktual yang sedang hangat di televisi hingga siapa yang kedapatan sedang membonceng cewek baru, tak luput dicakapkan. Semua berbicara begitu lepas seolah bermain bola adalah solusi dari penatnya rutinitas sehari – hari. Bermain bola adalah koentji.


Sampai pada suatu sore selesai bermain, seorang Kawan dengan selisih umur lebih tua dari Saya, Bang Anas mengatakan, “Aku ada buka Rumah Makan di pinggir jalan mau ke Medan. Di Tanjung Morawa, lewat simpang mau masuk Pintu Tol Tanjung Morawa itulah. Rumah Makan Sawah namanya. Makanya aku kadang gak bisa main terus karena harus bolak-balik ke sana.” memberi penjelasan panjang lebar kepada Saya kenapa hanya bisa bermain satu kali dalam seminggu.


“Loh iya yah Bang ? Sebelah kanan yah ? Sesudah turunan atau sebelum” kata Saya menanggapi, sedikit memahami daerah yang dimaksud.

“Iya sesudah, sering yah arah ke Medan ?” sambung Bang Anas.

“Kami sih tiap tiap wiken ke Medan, Bang. Kan kuliah.....” Saya menerangkan sambil menunjuk ke seorang Kawan, Isdi”

“Oh... Iyanya ? Yaudah sekali-sekali singgahlah...... Makan siang disana”

“Iya Bang, kata Saya mengakhiri.


Pembicaraan itu sudah lama terjadi, setahun yang lalu, rupanya Bang Anas tidak pernah lupa. Hampir setiap minggu Bang Anas menghubungi Isdi agar mampir untuk makan siang di Rumah Makannya. Sesering Bang Anas menghubungi Kami, sesering itu pulalah Kami mencari-cari alasan halus untuk menolaknya. Bukan kenapa-kenapa, tapi dari kesimpulan Isdi, Bang Anas mau mentraktir makan siang di Rumah Makannya dan Kami merasa tidak enakan. For your info, tidak enakan adalah default setting orang Indonesia. Cemanalagi lah yekan.   


Bang Anas tidak pernah menyerah, Kami pun yang akhirnya mengalah. Atas dasar tidak enakan dihubungi terus-terusan jugalah Minggu lalu, Kami bertekad untuk singgah makan siang di Rumah Makan kepunyaannya. Tidak enakan rule the world memang. Sampai di tempat, ternyata Kami disambut begitu hangat olehnya, padahal itu lagi rame pengunjung. Kami sampai kikuk harus berbuat apa tapi untunglah Bang Anas segera mengarahkan untuk menuju meja yang agak menjorok ke dalam, biar lebih santai katanya. Ah, Abang tau aja ya....


Dan yang dihidangkannya sebagai menu makan siang adalah Gulai Masam Kepala Nila kepada Kami berdua, tidak tanggung-tanggung.  Lengkap dengan lalapan, sambal kecap dan jus jeruk. Saya berani bertaruh itu adalah Gulai Masam terenak yang pernah Saya makan. Dan Saya juga berani bertaruh bahwa uang di dalam dompet Saya pun tidak cukup untuk membayar total biaya makan siang di situ seandainya selesai Kami makan lantas Bang Anas berujar, “Kasirnya di sebelah kanan yah di depan itu”.


Sambil menyuap nasi, Bang Anas bercerita banyak tentang pengalaman hidupnya dari mulai bekerja sebagai Pegawai pada perkebunan swasta, resign, mengurus rumah makan milik orangtua, dan akhirnya membuka Rumah Makan sendiri. Rupanya, mengurusi usaha Rumah Makan adalah passion Bang Anas, terhitung ada dua ruko miliknya yang disewakannya kepada orang dengan jenis usaha rumah makan juga. Bang Anas memang senang bercerita sampai waktu empat puluh menit pun tidak terasa telah terlewati waktu itu. Kami pun berpamitan, sambil tak henti mengucap terimakasih kepadanya. Itulah Bang Anas, orang yang Saya kenal hanya lewat bermain bola mau berbaik hati untuk menjamu makan siang di Rumah Makannya.


Rasa Gulai Masam Kepala Nila itu memang sudah lama hilang dari lidah Saya, tapi tidak dengan kebaikan hati Bang Anas. Bang Anas memang tidak pernah mengucap sebagai keluarga kepada Saya, tetapi Saya merasa diperlakukan sebagai anggota keluarga. Mengundang makan tentu tidak akan pernah Kita lakukan terhadap orang asing, bukan ? Peristiwa kecil seperti itu lambat laun mengubah cara pandang. Yang mulanya hanya sebagai Kawan – Kawan bermain bola lambat laun menjadi “keluarga”. Anggapan bermain bola di sore hari bersama Kawan-Kawan yang tadinya sekedar “mencari keringat” pelan-pelan berubah menjadi bagian dari kehidupan yang tidak bisa ditinggalkan. Mulai ada rasa tidak enak apabila berhalangan hadir untuk bermain. Tidak enak kepada “keluarga” apabila tidak bermain. Disadari atau tidak, atas nama kesehatan Saya sudah sampai sejauh itu.


Manusia adalah makhluk sosial. Makhluk yang selalu membutuhkan orang lain. Dan bermain bola hanyalah salah satu medianya. Saya bukan Captain Tsubasa yang saking candunya dengan bermain bola terus mengasah diri lewat bermain bola, menjadikan bola sebagai sahabat. Bagi Saya bermain bola adalah hadiah kepada diri Saya. Setelah seharian bekerja, otak Saya butuh refreshing dan tubuh Saya butuh sehat. Bermain bola bagi Saya adalah media. Media untuk refreshing, untuk sehat, bertemu orang lain dan berinteraksi satu sama lain. Lantas, bertemu orang-orang baru, bercerita, belajar dan berbagi banyak hal.


Saya tidak pernah bermimpi untuk menjadi terkenal lewat bermain bola, untuk bisa makan gratis pun tidak. Tapi Tuhan memang ahli dalam mengejutkan, lewat bermain bola Saya dapat traktiran makan siang dengan Gulai Masam Kepala Nila. Bermimpi pun tidak !


Tuesday, January 13, 2015

Maaf, Itu Bukan Resolusi Saya


Sumber : http://blog.gopaktor.com/wp-content/uploads/2014/12/resolusi1.jpg
Rasanya tidak afdol kalau membuka awal tahun dengan tidak membicarakan yang namanya resolusi. Seolah resolusi sudah menjadi paket komplit yang harus dimiliki dewasa ini.Resolusi menjadi tolak ukur perubahan bagi diri sendiri. Dengan adanya resolusi, berarti ada pencapaian yang harus diraih. Sayangnya, resolusi adalah sebuah kata homonim yang homofon, memiliki makna yang berbeda dengan pelafalan sama. Jadi sebelum resolusi menjadi bahan candaan yang sudah tidak lucu lagi, ketika ada yang bertanya tentang resolusi tahun ini yang akan dijawab oleh beberapa orang dengan jawaban, “Resolusi Saya masih sama, 1920 X 1080” maka sebaiknya marilah mulai Kita pikir-pikir kembali joke tentang resolusi apa yang sekiranya lebih cun untuk dipakai di tahun mendatang. Karena, resolusi yang dimaksud disini adalah wishlist Kita.


As a trend, resolusi rupanya mampu menembus berbagai platform media sosial untuk diperdendangkan lebih keras, maka tak heran orang-orang pun berbondong-berbondong sibuk memposting hal-hal apa saja yang akan berusaha diraihnya di tahun ini. Membuat resolusi seperti foto selfie bagi kaum perempuan, is a must . Dan memberitahukannya ke seisi dunia apa yang menjadi resolusi adalah langkah selanjutnya, sebuah prosedur tetap. Gitulah memang Wak, entah itu berusaha pamer atau kemarok tipis bedanya.  


Seiring waktu yang berlalu, usia yang bertambah dan orangtua yang mulai recok menanyakan kapan punya menantu, banyak orang mulai memasukkan pernikahan sebagai salah satu dari daftar panjang resolusinya. Tercapai atau tidak di tahun ini, itu perkara belakang yang penting sudah dimasukkan ke dalam resolusi, dan untunglah bagi Saya yang memiliki orang tua berbudi pekerti luhur serta bertenggang rasa tinggi tidak seperti orang tua lainnya yang selalu-sebisa-mungkin-dalam-momen-apapun memberondong anak laki-lakinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang menjurus ke arah – arah pernikahan yang cembetol aja pun memang benar-benar bikin bathin tertekan. Saya pun selamat.


Walau begitu, Saya selalu senang kepada apapun yang menyangkut soal pernikahan. Tapi bukan berarti Saya orang yang kebelet nikah, orang cewek aja ga’ punya kok. Bagi Saya pernikahan merupakan sesuatu yang sakral dan selalu menarik untuk di bahas. Kecenderungan Saya tertarik pada pernikahan seperti sudah bisa disejajarkan dengan kecenderungan pengendara kereta di Medan untuk selalu menerobos lampu merah di tiap persimpangan, begitu besar. Oleh karena itu, mendengar cerita-cerita tentang pernikahan selalu menjadi bagian favorit Saya terutama dari Kawan-Kawan yang telah menikah.


Memiliki kawan-kawan duduk yang sebagian besar telah menikah di usia muda sedikit banyaknya memberikan Saya masukan yang berharga. Tak jarang mereka berbagi bro-tips untuk Saya dan beberapa Kawan lain yang juga belum menikah, seperti menjelaskan istilah “koleksi, seleksi sampai resepsi” hingga Kami semua khatam.  Merasa kurang puas, terkadang Saya pun mengorek lebih dalam lagi dengan ngomong,

“Terus Bang, udah itu kek mana lagi Bang ?”

“Bisa memang kek gitu Bang ?”

“Ih, gakpapa itu Bang ? Gak marah dia ?”

Minta diceritakan lebih banyak lagi, cari-cari ilmu. Bandit memang, tapi yah itulah cakap-cakapnya.  


Maka tidak heran jadinya, cepat atau lambat topik pernikahan pun menjadi pembahasan yang panjang dan berjam-jam dengan kawan-kawan duduk, menghabiskan bergelas-gelas TST, berpiring-piring kentang goreng, saos dan abang-abang tukang TST yang ikut dibuat kesal dengan permintaan bolak-balik minta tambah air putih, mengimbangi alot dan panasnya pembahasan batu akik bersama kawan-kawan duduk Saya selalu, malam demi malam. Setiap ada kesempatan. Luar biasa.


Menikahlah bagi yang sudah mampu, puasalah bagi yang belum. Kurang lebih begitu sabda Rasul. Saya pribadi menyarankan seperti ini, menikahlah bagi yang sudah punya calon, carilah bagi yang belum. Oleh karena itulah, mengapa Saya selalu menyisipkan pertanyaan, “Eh ada kawanmu yang single, kenalinlah ?” di berbagai kesempatan berbahagia ketika bertemu dan berbincang dengan kawan-kawan. Namanya jugak carik makan. Yang demikian itu adalah bentuk usaha-yang-tidak-begitu-berusaha-namun –supaya-kelihatan-sedang-berusaha-saja  Saya dalam tanggung jawab untuk mencari calon Ibu yang akan melahirkan putra-putri terbaik Saya kelak nantinya . Ngomong apa ko, Wak ?


Terakhir, sebagai bentuk edukasi diri dan kewaspadaan terhadap ultimatum orangtua pacar (ketika Saya sudah punya nanti) yang sewaktu – waktu bisa saja menyuruh untuk segera melamar anaknya, Saya pun membekali diri. Saya selalu menawarkan diri untuk ikut andil bagian dalam setiap proses perjalanan panjang dari sebuah pernikahan Kawan. Dari mulai diajak untuk ikut mengantar ketika lamaran, menjadi saksi ketika ijab kabul, menyiapkan dan mengatur upacara prosesi  pernikahan Purnapraja (ala almamater Saya, IPDN), dan yang terakhir sampai pada ikut arak-arakan ketika ngunduh menantu. So much win.



 Tapi maaf, Saya belum memasukkan pernikahan ke dalam resolusi Saya tahun ini. 
Saturday, January 3, 2015

Raditya Dika & Bene Dion adalah koentji

sumber : Google
Beberapa hari yang lalu sebelum pergantian tahun, Saya mengetahui Teman lama Saya sedang pulang kampung, kembali ke kota ini. Bukan teman akrab, tapi Saya tahu dalam satu dua hal ketertarikan Kami sama, atau begitulah setidaknya yang dapat Saya temukan. Setelah lama merantau dan sukses di kota orang, pada akhirnya Saya berkesempatan untuk duduk satu meja dengannya. Ia adalah orang dari masa kecil Saya, masa – masa bersekolah dulu. Lama tidak berjumpa membuat Saya ingin berbagi banyak hal dengannya, ingin berdiskusi dengannya tentang hal – hal yang sempat menjadi ketertarikan Saya pada masa lalu. Lebih jauh lagi, Saya ingin belajar. Saya ingin belajar, mencoba menggali apa yang  telah Ia dapatkan lebih banyak dari sana, mencoba mencuri ilmu sedikit-sedikit.

Bene, namanya. Lengkapnya Bene Dion. Lebih lengkapnya lagi Bene Dionysius Rajagukguk. (kotengok itu njeng, masik hapal Aku kan ! followers mu aja belum tentu !) Bene adalah seorang teman, satu dari sejumlah lingkaran pertemanan lama yang untungnya masih bertahan. Dan seperti juga remaja-remaja saat ini yang besar dengan tulisan – tulisan dari Imam Besar Raditya Dika, yang buku – bukunya menjadi mazhab bagi anak - anak gaul se - antero negeri ini, sehingga apapun yang Dia kicaukan, lakukan dan katakan, menjadi tren di Indonesia, Kami pun demikian adanya, mengidolai Raditya Dika dan menjadikannya sebagai role model.  

Tak ayal, remaja – remaja seperti Saya pun-pada masa itu, berlomba – lomba membuat blog pribadi (untuk dedek-dedek gemes yang belum tahu Kak Radith itu terkenal lewat blog yah, bukan Twitter), ikut menuliskan cerita hidup, mencurahkan serangkaian kisah sedih, haru biru, riang gembira, gundah gulana, linglung, bingung, hantu blau apapun namanya dan dikemas dengan tambahan unsur komedi, lewat media online tersebut. Indikatornya jelas, makin banyak yang mampir di blog Saya, makin banyak yang baca cerita Saya yang berarti Saya harus menulis sebaik mungkin. Mimpi menjadi terkenal dan populer suatu hari, pelan – pelan terbentuk di dalam otak Saya, mengendap, berwujud dan berkumpul menjadi secercah harapan. Seperti kebanyakan minum tuak, Saya mabuk.


Raditya Dika memang tuak bagus.


Maka, selain disibukkan dengan PR Saya pun punya kesibukan lain yakni menulis untuk blog pribadi lantas kemudian di publish di laman Blog yang biasa disebut nge-blog. Karena pada masanya, akses internet tidak semudah seperti sekarang ini, maka Saya pun harus rela bersama dengan Kawan-Kawan se-visi pada saat itu, mengurangi porsi jajan di kantin, menyisihkan sisanya, pergi ke warnet yang isinya sebagian besar orang – orang bermain game online, nge-blog, dan akhirnya kenak libas mamak karena pulang telat ke rumah.


Raditya Dika memang kimbek.



*****




“Udah, kau nge-blog aja lagi.”


Bene memang pukilek.


Bisa-bisanya menanggapi cakap Saya sesingkat itu, padahal Saya sudah bela-belain bicara sampai air ludah kering. Ingin rasanya mengunfollow Twitternya tapi tidak jadi karena sekali saja mention Saya dibalas olehnya, pasti linimasa Saya langsung ramai, cun kali ah. Tapi rupanya tidak, Saya berbohong kok. Saya memang cerita banyak  tentang pekerjaan, kehidupan, pemikiran dan harapan-harapan Saya di masa depan pada malam itu ketika bertemu di cafe paling hits di sini, tapi enggak soal asmara. Sebuah cerita yang seharusnya berdurasi lama namun Saya resume menjadi 30 menit saja yang ternyata memang betul menjadi kontributor utama dalam habisnya air ludah.


Bene tidak meper-meper.


Mantap, Singkat dan jelas, Saya tahu betul ke arah mana Saya dituntun. Dan, Saya untung betul tidak harus mentraktir Bene. Saya pun menyadari pada akhirnya, ternyata kepenatan – kepenatan yang Saya rasakan seperti ini selama ini tidak menemui titik terang karena Saya menyimpannya dalam diam, tidak bertindak. Saya buka kembali laman blog Saya, tercatat Agustus 2013 Saya terakhir kali menulis.

Saya sudah bekerja sejak setahun terakhir yang artinya sejak mulai bekerja Saya tidak pernah memposting apapun di laman blog Saya. Sebegitu membosankan kah kehidupan Saya, ketika Saya telah bekerja ? Tidak juga. Lewat Bene Saya belajar pentingnya memberikan ruang untuk diri sendiri, membebaskan diri untuk menjadi apapun. Satu hal yang Saya sadari dan ini nyata, Saya harus kembali menulis. Bercerita apa saja yang menarik hati Saya. Minimal untuk diri sendiri.

Ini adalah tahun yang baru, tahun yang seperti semua orang harapkan akan menjadi tahun dimana semua resolusi – resolusi yang telah susah payah mereka buat akan dapat terwujud. Walaupun tidak akan semuanya dapat tercapai, seenggaknya akan ada tahun baru berikutnya untuk mewujudkan sisanya. Saya sendiri agak berbeda dari biasanya, kali ini tidak mematok suatu pencapaian apapun di tahun ini, hanya berusaha berbuat yang terbaik setiap hari. Sesederhana menjadi orang pertama di parkiran kantor setiap hari, itu saja.

Tujuh tahun telah berlalu sejak membuat blog pertama Saya, menulis berbagai macam hal yang menarik perhatian Saya dan tahun ini, resmilah blog ini memasuki tahun kedelapan, menjadi saksi perjalanan hidup dan postingan ini adalah postingan pertama Saya di tahun 2015, masih mendapat kendala yang sama dalam konsistensi menulis sampai saat ini. Semoga berusaha berbuat terbaik setiap hari, termasuk juga dalam rutin mengupdate postingan terbaru Saya disini.


Semoga.